Beranda

Thursday, June 7, 2012

Bis Kota Kampung Melayu; In Memeoriam KH. Muhammad Abubakar

Bis Kota Kampung Melayu
(Catatan Umarulfaruq Abubakar, dalam buku: Ada Cinta di Mata Aba, In Memeoriam KH. Muhammad Abubakar)

Suatu siang di Jakarta.
Lebih dua jam saya dan Ibu saya berada di bis dari Kampung Melayu, Jakarta. Sebuah perjalanan darat di teriknya siang yang sesak dan menyesakkan. Jalanan macet. Saya memandang wajah Ibu saya yang memerah dan bermandikan peluh. Jelas benar ada bekas-bekas keletihan disana. Jilbab putihnya sedikit buram warnanya oleh debu yang menempel.

“Capek Mi?” Tanya saya ketika saya sampai di rumah.
“Iya, ummi capek sekali,” kata Ibu saya sambil bersandar ke kursi.
“Tapi alhamdulillah di bis tadi ada anak muda yang baik. Lihat ummi berdiri, dia langsung bangkit dari kursinya dan mempersilahkan Umi duduk di situ. Ah, semoga Allah membalas budi baiknya.”

Saya jadi terharu. Siapa itu yang memberi tempat duduk kepada Ibu saya dan meringankan sedikit penatnya. Saya ingin bertemu dengannya dan berterimakasih sebanyak-banyaknya, setulus-tulusnya. Mungkin sebenarnya anak muda itu juga lelah dalam perjalanannya, namun ada dorongan lain dari dalam jiwanya untuk memberi tempat kepada yang lebih tua. Atau bisa juga dia lelah duduk, makanya ingin berdiri. Atau bisa juga kakinya lagi kesemutan, maka ingin sekedar meluruskannya. Apapun alasannya, apa yang dia lakukan itu sangat berarti bagi Ibu saya dan tentunya bagi saya juga.

Asli, bukan hal yang mudah berdiri dari kursi di bis dan mempersilahkan orang lain menempatinya di saat-saat yang sulit. Ketika kita lama nunggu bis misalnya, pas bisnya datang ternyata tidak ada tempat kosong. Setelah satu jam berdiri, orang yang duduk di samping tempat saya berdiri baru ingin turun. Itupun baru ingin. Belum turun benaran. Ketika dia beranjak untuk turun, maka jelas kawan akulah pemilik utama kursi itu. Sudah sejak sejam yang lalu aku menjaganya sambil berharap ia segera turun, agar aku bisa gantian duduk disitu.

Mungkin engkau yang berdiri disampingku juga merasa lelah kawan. Tapi percayalah, aku tidak akan kasihan kepadamu. Aku lebih mengasihani diriku ini yang sudah tidak kuat lagi berdiri. Mau bapak-bapak, mau ibu-ibu, kakek-kakek ataupun nenek-nenek yang ada disampingku, di saat yang seperti itu susah bagiku untuk memberimu tempat. Apalagi menyuruh aku berdiri untuk mempersilahkan dirimu yang baru datang.

Itsar (mengutamakan orang lain) itu kadang sulit, dan disaat sulit seperti itulah kita diuji untuk tidak kalah dengan nafsu dalam melakukan kebaikan. Kalau saya masih sering kalah. Moga engkau bisa selalu menang dalam pertarungan ini kawan.

Di Mesir, kami biasa berdiri sejajar dengan dosen-dosen kami di kuliah di bis kota, karena tidak dapat tempat duduk. Kadang kami kaget kalau yang disamping ini atau yang tadi ikut berebut naik bis itu setelah sampai di kuliah ikut memberikan muhadharah. Dari halte Darrasah yang ada di dekat kampus Al-Azhar, saya pernah nunggu bis bersama salah seorang guru besar ilmu hadits universitas Al-Azhar, pernah bersama dosen mata kuliah Qadhaya Mu’ashirah, juga pernah berkali-kali dengan dosen Ushul Fiqh Hanafi. Semua mereka adalah para profesor doktor yang terhormat. Bahkan nama yang pertama saya sebut tadi membayarkan ongkos bis dan duduk bersama anak-anak muridnya di deretan kursi paling belakang. Itu setelah Beliau pulang dari sidang tesis magister fakultas Ushuluddin Jurusan Hadits Universitas Al-Azhar. Beliau adalah promotor sekaligus dosen pengujinya. Pakaian dan penampilan mereka sangat bersahaja, namun ilmu mereka sungguh susah mengukur kedalamannya.

Sungguh benar-benar sebuah ketidakberadaban, bila saya masih duduk pura-pura tidur dan sok tidak tau ketika ada salah seorang dosen saya berdiri di samping saya di bis. Maka, sekuat mungkin saya berusaha untuk bisa memberi tempat kepada orang-orang tua yang ada di dekat saya (apalagi pakaiannya kelihatan rapi dan bersih) bila kebetulan saya lebih dulu duduk. Jangan-jangan beliau doktor azhar. Kalau bukan dari fakultas Syariah, mungkin dari fakultas lainnya. Atau kalau tidak, saya tetap ingin berdiri. Nabi Muhammad Saw bilang bukan golonganku yang tidak menghormati orang tua.

Terakhir saya ingin ucap terima kasih kepada dia yang telah memberi tempat kepada Ibu saya di bis kota tadi. Entahlah dia itu siapa, tapi mungkin saja itu engkau, kawan. Makasih ya.

0 comments:

Post a Comment