Beranda

Thursday, June 7, 2012

Belajar Menjadi Orang Kaya; In Memeoriam KH. Muhammad Abubakar

Belajar Menjadi Orang Kaya
(Catatan Umarulfaruq Abubakar, dalam buku: Ada Cinta di Mata Aba, In Memeoriam KH. Muhammad Abubakar)

Anda tau kawan siapa orang terkaya 2010? Bukan Bill Gates lagi. Jadi siapa? Dialah Carlos Slim Helu, orang Mexico. Jumlah kekayaannya mencapai $ 53.5 miliar menurut Forbes World’s Billionaires. Kekayaan bersihnya $ 18.5 miliar dalam setahun. Kalo di Indonesia masih Aburizal Bakrie & family dengan kekayaan $5.4 milliar. Posisi sebagai orang terkaya ini akan terus berganti seiring dengan berlalunya hari.

Menjadi orang kaya memang penting. Ketika kecil dulu Aba saya suka menasehati saya dengan ungkapan: “Jadilah orang kaya, nak” atau “Belajar jadi orang kaya, nak”. Nasehat ini hampir selalu di ulang-ulangi untuk mengingatkan saya dan adik-adik bahwa menjadi orang kaya itu penting. Tidak sekedar punya, yang paling penting adalah mempunyai mental orang kaya. Sebab harta itu bukan jaminan. Banyak uang tapi banyak utang. Harta melimpah tapi ditimpa penyakit yang memerlukan banyak pengobatan. Dana besar namun diikuti oleh banyak kebutuhan. Maka Nabi Muhammad punya pandangan yang berbeda tentang kekayaan. Beliau mengingatkan, “Kaya yang sesungguhnya adalah kaya hati”.

Membangun mental kaya sungguh jauh lebih penting daripada menjadi orang berpunya. Saya perhatikan, paling tidak ada empat kriteria dari kaya hati itu:

Pertama, senantiasa bersyukur dengan apa yang ada
Hidup adalah anugerah. Diberi kesempatan hidup saja, itu sudah merupakan kenikmatan yang besar. Apalagi ditambah dengan berbagai nikmat yang sangat besar. Barangkali yang membuat orang tidak bersyukur adalah karena dia hidup di dunia konseptualnya yang dipenuhi lilitan keinginan yang tak berujung. Nabi Muhammad bilang bahwa barang siapa yang bangun pagi dalam keadaan aman, sehat wal afiat, dan punya makanan untuk hari itu, maka dia seakan-akan telah dikaruniai dunia dan segala isinya. Sebab inti kenikmatan materi adalah tiga hal itu: keamanan, kesehatan dan ketersediaan makanan. Selama ada kesadaran akan nikmat, selama itu pula ada kesyukuran. Dan selama ada kesyukuran selama itu pula ada kekayaan jiwa. Ukurannya adalah kesyukuran. Bukan melimpahnya kebendaan.

Kedua, tidak pernah mengeluh
Satu pengeluhan, satu goresan kesusahan baru. Jangan kira orang yang mendengarkan, atau diminta untuk memikul masalahnya, tidak punya masalah. Mungkin masalahnya lebih besar hanya saja mampu dia pikul sendiri. Kalaupun harus bercerita, seharusnya, targetnya adalah ingin berbagi dan mendapatkan solusi, bukan ingin dikasihani.

Ketiga, suka memberi dan tidak pernah meminta
Tangan diatas selalu jauh lebih baik dari tangan dibawah. Memberi jauh lebih mulia dari pada meminta. Ini adalah kebiasaan orang kaya yang mesti dilestarikan. Mental kaya adalah mental pemberi, bukan mental peminta-minta, bagaimanapun beragam variasi cara memintanya. Kebiasaan memberi ini perlu dilatih, baik memberikan harta, membagikan ilmu, mengulurkan bantuan atau apa pun yang bermanfaat bagi orang lain. Setiap usaha meningkatkan pendapatan diniatkan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pemberian dan persembahan kepada orang lain, serta memperluas jangkauan manfaat. Alangkah mulianya orang yang seperti ini.
Keempat, merasa cukup dan tidak mengharapkan apa yang ada pada orang lain.

Selama tidak merasa cukup dengan apa yang ada; selama terus berharap pada apa yang ada di tangan orang lain, selama itupula jiwa tetap miskin. Ketersediaan dan kemelimpahan yang ada di hadapan matanya tidak kelihatan karena sibuk memikirkan milik orang lain. 99 kambing tidak dinikmati karena memikirkan 1 kambing milik tetangga. Orang yang tidak merasa cukup selamanya akan miskin dan orang yang ridha dan bersyukur maka dialah orang kaya sesungguhnya. Imam Syafii pernah berpesan “In Kunta dza qalbin qanu’in, fa anta wa malikuddun-ya sawa’u” Bila engkau memiliki hati yang penuh rasa Qana’ah (ridha dan puas dengan karunia) maka engkau dan raja dunia itu sama saja.”

Inilah kekayaan yang tidak bisa hilang atau dicuri, tidak bisa terbakar atau diambil orang, tidak perlu khawatir dengan inflasi dan deflasi, penipuan atau perampokan, kekayaan yang tak bisa diukur oleh uang. Itulah kaya hati, kaya jiwa.

Indah sekali rasanya hidup bila diri ini sudah bisa menjadi orang yang senantiasa bersyukur, tidak pernah mengeluh, selalu memberi, tidak pernah meminta dan merasa Qanaah dengan karunia yang ada, dan tentunya bisa menjadi pembawa manfaat bagi orang lain. Saya pun masih ingin terus belajar. Paling tidak bisa mengamalkan nasehat Aba ketika kecil dulu untuk menjadi orang kaya.

0 comments:

Post a Comment