Beranda

Friday, May 4, 2012

Jalan Pagi Keliling Kampung; In Memeoriam KH. Muhammad Abubakar

Jalan Pagi Keliling Kampung
(Catatan Umarulfaruq Abubakar, dalam buku: Ada Cinta di Mata Aba, In Memeoriam KH. Muhammad Abubakar)


Kalau ditanya apa yang paling saya sukai ketika kecil dulu? Maka jawabannya adalah jalan pagi bersama Aba. Mungkin bukan hanya pagi hari, di sore, siang ataupun malam jalan santai bersama Aba adalah sebuah hal yang menyenangkan. Bahkan bukan ketika kecil saja, ketika sudah besar (kurang lebih setelah lulus SD) pun jalan bareng dengan Aba menjadi sesuatu yang sangat berarti. Hanya saja ketika kecil dulu lebih mengenangkan dan mengesankan, dan paling banyak dilakukan di pagi hari.

Detik-detik ini menjadi begitu indah karena selama dalam perjalanan itu Aba tak henti bercerita. Baik tentang kisah-kisah teladan kehidupan, atau kisah kehidupan Aba sendiri saat sekolah sampai hari ini, atau kisah keluarga, atau analisa singkat tentang fenomena yang sedang terjadi di masyarakat saat ini. Banyak hal yang dulu saya anggap itu biasa saja, namun jika diingat-ingat kini ternyata rangkaian cerita-cerita singkat dulu itu benar-benar berharga. Selalu saja ada cerita, pengalaman dan kenalan baru. Aba mempunyai sangat banyak kenalan dan memiliki hubungan baik dengan hampir semua orang. Sehingga di jalan itu yang ada adalah berbagi wajah cerah, bertegur sapa, tukar informasi, dan jalin silaturahmi. Tidak jarang kami pergi dengan tangan kosong pulang dengan bawaan berat sekali. Atau pergi dalam keadaan lapar, pulang dalam keadaan kenyang.

Saat di jalan itu Aba banyak menanamkan nilai-nilai akhlak yang sederhana dan praktis. Misalnya ketika berjalan di jalan raya, berjalanlah di sebelah kiri (sesuai peraturan lalu lintas yang berlaku di tempat kita). Setiap kali berjalan, Aba selalu menempatkan kami di sebelah kirinya. Ketika saya tanyakan hal itu, Aba jawab supaya Aba bisa menjaga Muma dan Kim kalau ada apa-apa. Saya juga jadi tahu, kalau berjalan dengan orang yang lebih tua, maka hendaknya menempatkannya di sebelah kanan kita sebagai bentuk penghormatan. Lebih terhormat lagi kalau kita jalannya agak mundur sedikit, tidak terlalu jauh, cukup beberapa senti saja, sekedar menunjukkan kalau orang yang di samping kanan kita ini adalah orang yang kita hormati.

Aba juga sering sekali mengunjungi para fakir miskin yang ada di dekat kebun, di seberang sungai, di jalan-jalan setapak dan di tempat-tempat lainnya. Aba selalu menyapa mereka, bercengkrama dan bercerita tentang tanaman, tentang kondisi saat ini, menanyakan kabar, atau sekedar menyampaikan salam dengan seulas senyuman. Setiap ketemu orang, Aba bisa langsung akrab walaupun sebelumnya belum kenal. Kadang setelah lama ngobrol baru kenalan. Satu pesan Aba yang selalu saya ingat tentang hal ini “Kalau ketemu siapa saja, anggaplah ia kawan lama tak jumpa. Sapa dia seperti kawan-kawan lainnya. Jangan sombong, tapi juga jangan minder.”

Berkunjung ke tempat-tempat orang-orang yang ini selain untuk meluaskan silaturahmi dan memberi apa yang bisa diberi, juga sebagai sarana untuk mensyukuri nikmat. Aba dulu adalah orang yang sangat miskin di kampungnya, kalau tidak disebut paling miskin. Melihat para tetangga ini, mengingatkan Aba dengan kehidupannya di masa kecil dulu, masa-masa susah saat ditinggal bapaknya dan hanyak hidup bersama Ibu dan seorang adiknya. Kadang Aba berbisik, “Nak, dulu Aba hidup seperti orang itu.” Atau, “Nak, dulu Aba lebih miskin dari itu.” Perasaan kesyukuran atas nikmat pun menyeruak masuk. Demikian pula perasan empati menjadi semakin mekar di dalam jiwa, karena bisa memahami dan merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain.

Walaupun saya dan Kim tidak berkomentar apa-apa, tapi sungguh lubuk hati yang jauh di sana kami merasakan kesyukuran yang tidak terkira. Melihat kondisi mereka kami jadi merasa betapa kami ini hidup penuh dengan karunia, penuh dengan nikmat yang tak pernah habis-habisnya. Walaupun bukan keluarga berada, kami jadi bisa menerima hidup apa adanya, merasa cukup dengan apa yang ada, bahkan merasakan karunia tak terbatas yang tidak cukup ucapan hamdalah untuk mensyukurinya.

Kami jadi malu meminta uang jajan lebih. Uang logam Rp.100 untuk membeli sekeping roti di sekolah sudah lebih dari cukup. Atau kalau tak dikasih jajan pun tak masalah. Dengan kenikmatan yang melimpah ini; diberi kesehatan, tempat tinggal yang cukup, makanan yang enak dan mengenyangkan di rumah dan kenyamanan suasana yang diberikan oleh Aba Umi, membuat kami selalu merasa dalam kemelimpahan itu.

Kehidupan ternyata memberi banyak pelajaran. Pada 2009 kemarin, tingkat kemiskinan di Indonesia tercatat mencapai 14,15 persen atau sebanyak 32,53 juta jiwa. Barangkali urusan pengentasan kemiskinan ini sepenuhnya tidak bisa diberikan kepada pemerintah. Kita bisa turut berpartisipasi melakukan apa yang kita bisa, sekaligus memetik beberapa pelajaran yang berharga.

0 comments:

Post a Comment