Beranda

Friday, May 4, 2012

Kenangan Ramadan Bersama Aba; In Memeoriam KH. Muhammad Abubakar

Kenangan Ramadan Bersama Aba
(Catatan Umarulfaruq Abubakar, dalam buku: Ada Cinta di Mata Aba, In Memeoriam KH. Muhammad Abubakar)

Abaku…

Dulu, saat Ramadan seperti ini, engkaulah yang selalu membangunkan aku dari tidurku ketika sahur. “Ayo, tinggal lima menit!” Ucapanmu ini membuat kami segera bergegas. Mungkin maksudmu adalah tinggal lima menit lagi waktu makan, namun ucapan itu ternyata berkhasiat menghilangkan kantuk karena dalam benak kami terbayang tinggal lima menit lagi waktu imsak. Kepada Ibu, engkau selalu berpesan untuk memasak masakan paling enak. “Untuk anak-anak...,” katamu. Selalu engkau larang kami untuk tidur seusai sahur dengan berkata, “Nanti Subuhnya lewat!” Maka kami pun sering mengakhirkan makan sahur, agar tak ada yang tidur lagi. Ketika azan Subuh berkumandang, engkau menggandeng tangan mungilku dan adik-adik ke mesjid, menembus gulita, menyapa embun Subuh.

Abaku…

Dulu, saat Ramadan seperti ini, engkaulah yang selalu menyemangati kami baca Al-Quran. Bahkan jauh sebelum Ramadan tiba engkau sudah mengingatkan betapa besar pahala orang-orang yang membaca Al-Quran di bulan puasa ini. Maka aku dan adik-adik pun berlomba untuk mengkhatamkan Al-Quran secepatnya. Dan selalu saja yang menang adalah Kim, adikku yang kedua. Di hari yang kelima atau keenam dia sudah khatam dan kembali mulai baca dari alif laam miim. Senyummu selalu mengembang saat melihat kami mengaji. Bertambah mengembang lagi ketika sudah selesai. Dan kami tau ada hadiah menanti untuk kami di balik kembang senyum itu.

Abaku…

Dulu, saat Ramadan seperti ini, engkaulah yang selalu menyemangati kami untuk berangkat pagi-pagi ke sekolah. Kaki-kaki kecil kami pun melangkah dalam kesejukan pagi menempuh jarak sekolah yang hampir satu kilometer dari rumah. Kami tidak merasa lelah bila mengingat delapan kilometer jarak sekolahmu dulu dari rumah yang engkau tempuh setiap hari. Apalagi kami sudah menyaksikan sendiri rumah dan sekolah itu. Tak pernah kami membolos. Saat terik panas siang kembali dari sekolah, engkau dan Ibu menyambut kami di rumah dengan senyummu yang khas itu.


Abaku…

Dulu, saat Ramadan seperti ini, engkau tetap bersemangat pergi ke kebun. Saat kami berangkat ke sekolah, engkau pun sudah siap dengan linggis, pacul dan parangmu. Engkau ke kebun untuk menanam pisang, menanam kelapa, memperhatikan tanaman, memperbaiki pagar yang rusak. Kadang engkau lebih dulu tiba di rumah, kadang pula kami tidak menjumpaimu. Atau kau berangkat ke kebun setelah kami pulang dari sekolah. Engkau di sana sejak seusai Dhuhur sampai asar tiba. Begitu setiap hari, setiap waktu. Selalu ada letih di wajahmu ketika berbuka, tapi selalu saja ada kebahagiaan di wajah yang letih itu.

Abaku…

Dulu, saat Ramadan seperti ini, engkau selalu berusaha untuk buka puasa di rumah. Aku tahu banyak undangan buka yang datang untukmu, tetapi engkau lebih memilih berbuka denganku, adik-adik dan ibu. Suasana buka puasa dan makan malam ini adalah di antara saat-saat terindah dalam hidupku. Kami duduk melingkar dan masing-masing bercerita tentang pengalaman puasanya di hari itu.

Seusai makan, cerita keluarga dilanjutkan dan selalu saja penuh dengan canda tawa. Kadang engkau menyuruh aku atau adik-adikku ke mesjid untuk mengumandangkan doa sebelum buka puasa. “Asyhadu alla ilaaha illallah astaghfirullah, nas’alukal jannata wa na’udzu bika minannaar“

Abaku…

Dulu, saat Ramadan seperti ini, engkau selalu perhatian dengan shalat lima waktu. Engkau ajak kami untuk selalu ke mesjid melaksanakan shalat berjamaah. Shalat Tarawih tidak pernah ketinggalan. Di kala pulang dari mesjid, seringkali engkau bercerita tentang banyak hal sambil terus memegang tangan yang masih mungil itu. Berjalan denganmu sungguh selalu menyenangkan, karena selalu saja ada cerita yang baru. Engkau punya banyak kawan yang selalu engkau sapa atau menyapamu terlebih dahulu di jalan.

Abaku…

Dulu, saat Ramadan seperti ini, engkau selalu menyiapkan baju baru untuk kami. Mungkin tidak terlalu istimewa, tapi ada kegembiraan saat kami mendapatkan itu. Engkau senantiasa ingin melihat kami bahagia. Selalu seperti itu. Ketika kami semakin besar, kain sarung dan baju yang dihadiahkan orang kepadamu engkau berikan kepada kami. Kami bahagia, itu sudah kebahagiaan bagimu

Abaku…

Dulu, saat Ramadan seperti ini, engkau senang berjalan pagi, berkunjung kepada tetangga. Engkau selalu membagi makanan untuk berbuka, membagi hasil kebun, memberikan beras kepada orang yang kesusahan, mengantar pisang ke rumah-rumah tetangga. Kami yang engkau suruh membawanya. Kadangkala tempatnya jauh dan di pelosok yang gelap, sehingga kami harus membawa obor untuk bisa mencapainya.

Abaku…

Dulu, di hari kedua Idul Fitri, engkau selalu menyewa satu Mobil Mikrolet untuk kami sekeluarga dan orang-orang yang tinggal di rumah. Engkau mulai dari Tilamuta hingga ke Marisa, tempat kakek berada. Perjalanan yang seharusnya bisa ditempuh dalam dua jam itu menjadi delapan jam. Itu karena mobil sering berhenti di jalan.

Setiap ada rumah keluarga dan handai tolan, selalu kami singgah dan mampir di situ. Engkau sangat memperhatikan hubungan silaturahmi. Kata-kata pun tak pernah kulupa “Silaturahmi itu mahal, nak” Kebiasaan ini terus berjalan hingga hampir dua puluhan tahun

Abaku…

Tahun 2007 engkau mulai sakit. Sakit yang memaksa engkau untuk beristirahat di rumah. Engkau jalani Ramadanmu di dalam kamar. Semakin lama sakitmu semakin bertambah. Namun puasa Ramadan selalu engkau lalui dengan sempurna. Ketika Idul fitri tiba, engkau tidak bisa lagi menyewa mobil membawa kami mengunjungi keluarga. Gantinya, ternyata di hari-hari itu banyak keluarga yang datang ke rumah untuk menjengukmu.

Selalu saja ketika mereka datang, engkau sambut dengan penampilan yang rapi dan wajah penuh senyuman. Sehingga dalam pandangan mereka engkau sedang sehat bugar, sehingga mereka pun pulang ke rumah masing-masing dengan hati yang tenang.

Hanya Ibuku dan adik-adik yang tahu, bagaimana engkau menahan sakit itu ketika di kamar. Sebab prinsipmu: “Apabila engkau ditimpa kesusahan maka pikullah sendiri, tampakkanlah yang baik-baik, jangan sampai orang lain menjadi susah karena dirimu.”

Abaku...

Sejak delapan kali Ramadan yang silam aku tidak bersamamu. Aku harus pergi jauh darimu, jauh sekali. Tetapi selalu saja engkau tak pernah lupa menelponku: menanyakan kabar, apa menu sahur tadi pagi, gimana puasa hari ini, nanti buka dengan apa dan dimana, shalat Tarawih di mesjid mana, dan bacaan Al-Quran sudah berapa juz sekarang. Aku pun tak pernah lupa menelponmu. Tapi selalu saja engkau yang lebih sering.

Abaku…

Kini engkau telah pergi lebih dulu. Di rumah hanya ada Ibu dan dua orang adikku. Ada baiknya beberapa orang ponakanku mau menemani Ibu. Engkau tak perlu cemas, kami akan selalu setia menjaga Ibu seperti pesanmu dulu. Kami pun tak akan pernah lupa mendoakanmu di setiap waktu. Kelak bila saat pulang itu telah tiba, aku dan adik-adik akan segera berkunjung ke pusaramu…

2 comments:

  1. Luar biasa, saya ikut terharu mas.. Semoga Beliau beroleh tempat terbaik di dalam surga Nya. Amin.

    ReplyDelete
  2. Semoga Allah merahmati, memberkati, mengampuni dosa-dosa, mengangkat derajat Beliau dan memberi ganti yang lebih baik untuk Alkhairaat dan Ummat Islam. Amin..

    ReplyDelete