Beranda

Thursday, June 7, 2012

Pesan Terakhir yang Abadi; In Memeoriam KH. Muhammad Abubakar

Pesan Terakhir yang Abadi
(Catatan Umarulfaruq Abubakar, dalam buku: Ada Cinta di Mata Aba, In Memeoriam KH. Muhammad Abubakar)


Jam satu siang tanggal 14 Februari 2010, akhirnya ia merasakan kenikmatan terindah dalam hidupnya. Tak ada ada lagi penanggungan rasa sakit bertahun-tahun, tidak ada lagi kelemahan anggota tubuh, tidak ada lagi kesedihan yang mengiringi setiap langkah dan gerak, tiada lagi suara yang tercekat di leher menahan derita. Seketika menjadi begitu tenang. Tak bergerak. Diam. Sunyi. Tak ada desis suara. Begitu damai.

Sebab penanggungan sakit itu hampir genap tiga tahun lamanya, sejak tahun 2007 yang lalu. Hari-harinya yang diisi kesibukan sekaligus kenikmatan itu berganti seberkas kisah di ruang kamar.

Semenjak lama sebelum sakit, saya selalu melihat dari dekat bila sejak dini hari ia sudah siap dengan pakaian kebesaran menghadap Rabb-nya. Seruan muazzin yang membelah keheningan subuh bukan lagi pembangun tidurnya. Seruan itu hanya menjadi semacam penanda untuk beralih ke ibadah selanjutnya. Lalu seisi rumah pun diajak untuk menghadap ilahi Rabby penuh syahdu di malam yang sunyi.

Seusai Subuh, dilanjutkan dengan dzikir atau kalau sempat menyampaikan sedikit nasehat penghidup semangat. Semacam ceramah singkat. Setelah itu ia mengajar membaca kitab; Al-Kawakib Ad-Durriyyah, Nashaihul Ibad, Risalatul Mu’awanah, Nashaihuddiniyah atau kitab-kitab lainnya. Seusai baca kitab, ia langsung bersiap ke sekolah; mengisi jadwal mengajar sambil mengawasi jalannya persekolahan. Dan sudah menjadi maklum, bila ia yang masuk, maka semua akan tertunduk dalam diam, menanti setiap untaian kata bermakna sarat arti yang diucapkan dengan sepenuh hati. Baru berhenti ketika Azan Dhuhur sudah berkumandang.

Seusai dhuhur, bukannya istirahat, tapi malah mengajar lagi di mesjid. Baca tafsir Ibnu Katsir. Makan siang baru dilaksanakan sekitar jam 15.00, beberapa saat sebelum asar. Istirahat setelah makan digunakan untuk baca koran dan mengobrol dengan anak-anak. Ba’da asar ia ke kebun. Memang aslinya ia adalah seorang petani yang kebetulan sempat sekolah. Maka kegemarannya untuk menanam pisang, menanam kelapa, memperbaiki pagar yang rusak dan bercengkrama dengan berbagai jenis tanaman tidak bisa dipisahkan. Setelah maghrib biasanya menerima undangan ceramah dan acara-acara sosial. Tiba di rumah sekitar pukul 11 malam. Demikianlah siklus produktif hidupnya.

Saya bisa menangkap ada empat hal yang paling ia sukai: membaca, mengajar, berkebun dan menyambung tali silaturahmi. Ia juga adalah orang yang paling bahagia kalau ada tamu yang datang ke rumah. Segala macam dikeluarkan untuk membahagiakan tamu yang datang.

Karakter pribadinya jelas: orangnya disipilin, tanggungjawab, cinta ilmu, dan berkemauan keras.

Namun sejak tiga tahun lalu sosok yang kuat dan selalu bersemangat itu hanya mampu mengistirahatkan dirinya di kasur tidurnya. Sakit. Macam-macam sakit yang menimpa; maag, diabetes dan lainnya. Tapi tidak sampai menghapus semangatnya menjalani hidup produktif. Ia jadi bisa lebih banyak merenung di rumah. Entah berapa banyak buku selesai dibaca. Silaturahmi dengan masyarakat yang jauh dan dekat jadi terhubung erat sebab banyak yang datang ke rumahnya untuk menjenguk. Satu hal yang selalu membuat penjenguk heran: orang yang dikabarkan sakit ini ternyata menyambut mereka dengan wajah penuh cerah, dengan penampilan yang tertata. Seperti tidak sakit. Dan memang ia tak pernah ingin orang ikut menderita dengan deritanya. “wa idzan tushibka khashashatun fatahammali.” Apabila engkau mendapatkan musibah maka pikullah sendiri. Dalam riwayat lain “fatajammali” maka tampakkanlah yang baik-baik. Demikian prinsip hidupnya yang juga ia bagi kepada orang yang ada di sekitarnya.

Saat putra pertamanya ingin kembali belajar di Kairo untuk kedua kali (tahun 2007), ia berusaha dengan segenap tenaganya untuk mengantar sampai bandara. Satu nasehatnya yang masih terngiang, “Nak, pergilah dengan penuh semangat. Jangan ada air mata yang tumpah. Jangan meninggalkan kesedihan kepada orang-orang yang ditinggalkan.” Sang anak pun menjadi tegar. Dan lihatlah, keluarga itu berpisah dengan penuh senyuman. Masing-masing sedang berbicara langsung ke hati…

Saat putra kedua ingin kembali menyusul kakaknya (tahun 2009), ia tidak mampu lagi bangkit dari kasur putih rumah sakit. Hanya lambaian tangan diiringi senyuman disertai ucapan fi amanillah (semoga dalam lindungan Allah) yang mengantarkan putra tercinta menyeberang benua nun jauh disana. Ia sendiri yang memaksa agar anak keduanya itu harus pergi, terbang bersama cita-citanya.

Kegalauan menghantui putra ketiga. Ia tidak mungkin meninggalkan Abanya sedang sakit seperti ini. Berat. Sangat berat. Tapi tidak. Ada sebuah kepentingan besar yang lebih utama dari perasaan. Pergi. Susul kedua kakakmu untuk belajar di negeri para nabi (tahun 2010). Sakitnya semakin parah. Satu pesan terucap saat itu: jangan pulang sebelum berhasil, apapun yang terjadi!

Kondisinya saat itu sudah sangat lemah.

Beberapa hari lalu saya sempat menelponnya. Dengan suara yang tercekat di leher, dengan susah payah, akhirnya ia mampu menyampaikan satu pesan yang tak kan pernah saya lupa. Satu pesan yang mampu melestarikan memori berkekalan. Satu pesan gambaran semangat yang terpatri di relung hati. Satu pesan penggugah, penyulut semangat, menyentuh sukma, merasuk jauh ke dalam jiwa.

Dengan patah-patah ia berkata:
“s-e-l-a-m-a-t b-e-l-a-j-a-r n-a-k” lalu ia tak berkata apa-apa lagi.

Sungguh sebuah pesan terakhir yang abadi..

Beberapa hari setelah pesan itu, saya memperoleh kabar ia sudah tutup buku kehidupan…

Muhammad Abubakar: Abaku, guruku, sahabatku, jagoanku, teladanku sekaligus pahlawanku yang tersayang ternyata telah kembali lebih dulu.
Selamat jalan Aba. Semoga rahmat Allah selalu bersamamu.

Kairo, sehari setelah Aba berpulang ke rahmatullah

0 comments:

Post a Comment