Beranda

Friday, May 4, 2012

Majlis Ta’lim dan Ibukota; In Memeoriam KH. Muhammad Abubakar

Majlis Ta’lim dan Ibukota
(Catatan Luqmanul Hakim Abubakar, dalam buku: Ada Cinta di Mata Aba, In Memeoriam KH. Muhammad Abubakar)


Dua belas Oktober tahun 2011 ini Kabupaten Boalemo akan berusia dua belas tahun. Untuk usia sebuah kabupaten, dua belas tahun belum bisa disebut sebagai usia yang lanjut. Sama seperti manusia, dua belas tahun masih tergolong belia, dalam masa penataan dan pencarian jati diri. Tapi Boalemo di usia ini sudah mencatat sejumlah prestasi nasional yang patut dibanggakan. Sinergi positif antara pemerintah dan masyarakat telah meningkatkan kesejahteraan dan perbaikan infrastruktur dan ekonomi daerah.

Prestasi dan penghargaan nasionalpun membanjiri Kabupaten Boalemo dalam satu dasawarsa pertamanya. Sebutlah prestasi-prestasi nasional itu misalnya Manggala Karya Kencana pada Tahun 2002, Bupati peduli terhadap pendidikan luar sekolah 2002, Adhi Bakti Mina Bahari 2005, Bupati Peduli Pendidikan 2006, harapan I lomba club olah raga Sparta nasional 2007, peringkat II Kabupaten Peduli Pembangunan Kehutanan 2008, Rumah Sakit Daerah Tani dan Nelayan (RSTN) meraih Piala Citra Pelayanan Prima 2008, Bupati Peduli Pembangunan Transmigrasi 2009, terbaik dalam peningkatan produksi beras 2006 sampai 2008, peringkat I Nasional Raskin Award ’08 tahun 2009, Lencana Melati 2009, terbaik pengelolaan TPI (Tempat Pelelangan Ikan) nasional 2009, nominator penerima Piala Citra Bhakti Abdi Negara 2009.

Nama Aba ikut dikenal dan diabadikan dalam sejarah awal jelang pembentukan Kabupaten Boalemo. Sebagai pejuang, mungkin. Tapi di medan yang berbeda. Lewat doa-doa, lewat orasi-orasi kecil yang diselipkan dalam ceramah-ceramahnya atau lewat gurauan-gurauan ringan dengan santri-santrinya.

Saya ingat, ketika itu Majlis Ta'lim Nurul Khairaat yang dipimpin Aba sejak lebih dua tahun di Marisa terhenti karena permasalahan tarik menarik Ibukota, antara Tilamuta dan Marisa. Sebagai orang Tilamuta, Ia sangat berharap Ibukota Kabupaten Boalemo jatuh di Tilamuta. Itu tampak sekali dalam doa dan interaksinya, juga dalam keaktifan pada rapat-rapat tokoh Tilamuta di rumah Pak Guru Ku'i. Ia turut hadir menyumbangkan ide, menegaskan komitmen, membahas persiapan dan strategi Tilamuta menjadi Ibukota. Karena itu, namanya di Tilamuta ikut disebut dalam barisan pejuang. Dan bagi orang Marisa ketika itu, hal itu sudah cukup untuk men"cap" dirinya sebagai “lawan politik” yang mesti diawasi sepak terjangnya.

Maka mulailah riak-riak kecil dalam hubungan sosial Aba. Ketika itu fitnah atas namanya memang merebak di Marisa. Tapi dengan silaturahmi yang terus terjaga, sahabat-sahabat Aba di sana tidak mudah termakan fitnah dan selalu berusaha sesegera mungkin mendapatkan konfirmasi. Keluarga di Marisa juga turut aktif dan memberikan dukungan. Sekalipun sempat merebak, fitnah itu dengan segera kembali dapat diluruskan.

Hari lebaran selalu Ia manfaatkan untuk berkunjung dan bersilaturahmi. Marisa selalu mendapatkan jadwal perjalanan silaturahmi hari raya. Berkunjung ke rumah-rumah keluarga, kerabat dan sahabat. Om Delbar, Om Ayat, Pak Guru Tamu dan beberapa tokoh lainnya selalu menjadi tujuan kunjungan rutin lebaran. Saya ingat ketika kecil, di rumah Om Delbar di Duhiadaa saya suka menyembunyikan beberapa potong kue lebaran di saku kemeja.

Begitulah, sekalipun hubungan kekeluargaan dan silaturahmi dengan sahabat-sahabat anggota Majlis Ta'limnya di Marisa tetap berjalan, tapi Majlis Ta'lim sendiri terhenti. Satu dua kali undangan ceramah di Marisa masih Ia terima. Tapi sudah tidak lagi sesering sebelumnya.

Masyarakat kita memang masih cenderung membatasi ruang gerak para ustadz atau aktivis agama pada kegiatan ceramah, pengajian atau memimpin shalat berjamaah. Politik dan ekonomi di sebagian komunitas masih dianggap zona tidak steril, yang mesti dijauhi oleh juru dakwah.

Entah siapa yang awal mula memperkenalkan pandangan ini. Padahal sebenarnya dalam Islam tidak pernah ada pemisahan dan pembatasan demikian. Islam adalah agama syaamil kaamil, sempurna dan satu kesatuan utuh yang mengatur seluruh lini kehidupan pemeluknya.

Benar bahwa ada ulama yang gagal mengubah janji agama menjadi realitas dalam dunia nyata. Tapi hal itu murni lahir dari keterbatasan manusia. Justru di sinilah letak ujiannya. Karena jika melihat fakta sejarah secara utuh, tidak sedikit "Abdi Tuhan" yang sukses politik dan ekonomi. Lihatlah bagaimana Al Quran dengan bangga bercerita tentang keadilan kerajaan Daud, kemakmuran negeri Sulaiman, keagungan kuasa Zulkarnain. Bahkan Nabi Muhammad sendiri telah menyandingkan politik dan agama. Ia adalah seorang politikus besar, pimpinan Negara Islam Madinah, yang di akhir membentang luas sepanjang semenanjung Afrika, hingga mencapai Spanyol, Portugal dan Selatan Prancis di Eropa. Sejarah juga mencatat para sahabat terkemuka adalah politikus sekaligus pengusaha sukses. Ulama-ulama Islam yang datang setelah itu umumnya bergelut dalam politik dan niaga. Bahkan di Negeri Kita Indonesia, sejarah kemerdekaan dipenuhi sederet nama ulama, kiai dan pemuka agama. Jika sekarang pembatasan ruang gerak para ulama masih dilakukan sebagian masyarakat, mungkin nanti, pada suatu saat yang mudah-mudahan tidak lama lagi, pandangan seperti itu akan berubah lebih baik.

Majlis Ta'lim Nurul Khairaat ketika itu adalah majlis ta'lim mingguan paling besar di Marisa. Setiap Selasa sore, dengan Mobil Mitsubishi open cup-nya Kak Bo'e atau Kak Hamdan, Ia berangkat. Santri yang mau ikut di ajak menemani. Umumnya santri yang ikut adalah yang berasal dari Paguat dan Marisa. Mereka sekaligus pulang berlibur walau hanya beberapa jam ke rumah masing-masing. Dan kami, menjadi jagoan-jagoan kecil yang setia menemani perjalanan dakwahnya.

Biasanya, Magrib sudah tiba di Mesjid An Nur Marisa. Atau sesekali terlambat, jika agak lama singgah di rumah almarhum Ami Ale di Paguat. Makan malam selalu di Rumah Makan Nagit Marisa dan langsung menuju lokasi Majlis Ta'lim yang sudah ditentukan minggu sebelumnya. Berpindah-pindah, setiap minggu di tempat berbeda, dari mesjid ke mesjid. Saya menduga, semua mesjid di Marisa ketika itu sudah pernah Ia kunjungi dan pernah ia berceramah di sana.

Majlis ta'lim akan menghabiskan waktu tiga jam. Ceramah satu jam, sisanya dua jam untuk tanya jawab. Materinya seputar hukum-hukum Islam standar. Tentang Shalat, tentang zakat, tentang muamalat atau bahkan tentang tatacara pernikahan, perceraian dan pembagian warisan. Kadang-kadang peserta terus antusias sekalipun waktunya habis. Dan waktu akan molor, pulang ke Tilamuta selalu setelah hampir jam dua belas malam.

Di Pos Polisi Marisa, selalu begitu, setiap kali ada pemeriksaan, Aba yang duduk di depan hanya akan melambaikan tangan sembari mengucapkan salam. Polisi penjaga akan langsung mengenali, tidak akan bertanya apa-apa, hanya sedikit membungkuk, dan Mobil Kak Bo'e berlalu tanpa hambatan.

Tanta, Barat Mesir, 1 April 2010

0 comments:

Post a Comment