Beranda

Friday, May 4, 2012

Kalau Cuma Makan, Ada di Rumah; In Memeoriam KH. Muhammad Abubakar

Kalau Cuma Makan, Ada di Rumah
(Catatan Luqmanul Hakim Abubakar, dalam buku: Ada Cinta di Mata Aba, In Memeoriam KH. Muhammad Abubakar)


Memang hanya sekedar hobi, sama sekali bukan profesi. Tapi sungguh seperti seorang petani profesional. Mungkin karena terlahir dari keluarga petani dan telah menjadi tulang punggung keluarga sejak ditinggal ayahnya di usia kecil, maka ia begitu mahir merawat tanaman, membuat pagar dan mengelola kebun.

Setiap hari, selalu begitu. Setelah menunaikan kewajiban mengajarnya di pesantren dan mengawasi pengajian kitab kuning setelah Shalat Dhuhur, ia akan mengajak kami, menemaninya bekerja, menghabiskan siang di kebun. Tidak seorangpun menyangka bahwa pagar-pagar bambu yang rapi, tanaman beraneka jenis, dan kebun-kebun yang bersih di Modelomo dan Pentadu Barat itu adalah hasil sentuhan tangan seorang pimpinan pesantren dan tokoh agama terkemuka. Memang hanya beberapa petak tanah kecil. Tapi kelihatan begitu menarik, bersih, dan tertata rapi berbagai tanaman.

"Seragam kerja" nya sama seperti petani lain; kaus lengan pendek dan celana panjang butut, ditemani parang kecil dan tali pengikat pagar. Nyaris tak mudah dikenali, kecuali melalui kopiah kuning yang dengan setia menutupi uban di kepalanya. Kopiah yang tidak lagi bisa disebut baru itu menjadi ciri khas yang membedakan penampilannya dari petani-petani lain. Kopiah itulah paling tidak aksesoris yang sedikit menegaskan identitasnya sebagai seorang kiyai.

Pisang beraneka ragam, cokelat dan kelapa menjadi hasil utama kebun-kebun itu. Setiap minggu, dua tiga tandan pisang bisa dibawa pulang. Itu tidak termasuk yang disedekahkan pada tetangga. Sebab biasanya, sedekah dari hasil pisang itu sudah dikeluarkan untuk tetangga kebun atau kerabat sekitar, sebelum pisangnya masuk ke gudang penyimpanan di rumah.

Membeli tanah, mencari bibit dan menanam, ia kerjakan semuanya dari nol, dengan penuh semangat, gembira dan sejuta pengharapan. Sejak awal ia memang telah meniatkan, jika nanti ada hasil materi, maka akan ditambahkan pada tabungan haji keluarga. Dan dengan itulah antara lain, Ia memenuhi kewajiban rukun Islam ke lima pada 2001 dan menghajikan istri tercintanya pada 2005.

Kerja itu telah membentuk fisiknya tegap dan kuat. Sentuhan intens dan terus menerus dengan alat-alat kebun itu juga membuat kaki dan tangannya kasar dan keras. Baginya, itu semua merupakan kebanggaan tersendiri. Bukankah Rasul pernah memuji seorang Sahabat yang tangannya kasar karena bekerja keras untuk kehidupannya? "Tangan seperti ini," kata Nabi, "yang dicintai dan dimuliakan Allah."

Beragam cerita pernah bermula dari kebun-kebun kecil ini. Para santri yang bergantian menemaninya banyak menyimpan kenangan. Kepada mereka, di sini ia banyak mengajarkan syair-syair Arab, doa-doa dan nasehat, di samping teknik mengelola tanaman tentunya. Di sini, dengan santri-santrinya ia lebih terlihat seperti seorang teman atau kakak dengan adiknya dari pada seperti seorang guru dengan muridnya. Tertawa dan bercanda, dekat dan akrab.

Salah satu kebiasaannya di kebun, untuk menghilangkan kesuntukan dan lelah, ia menyanyi. Suaranya fals dan keras. Ia menyayi bebas. Dan nyanyian itu akan disambut tawa riang para santri yang menemani. Bukan karena indah, bukan karena merdu. Tapi karena lucu. Selain lirik lagu yang dinyanyikan hanya itu-itu saja, intonasinya juga berbeda dari lagu sebenarnya. Dan suaranya sama sekali tidak bisa dibilang berbakat.

Salah satu tembang andalannya adalah lagu Isti Yulistri, Balaeng deng birman sandiri. Isi lagu kurang lebih tentang kesetiaan dan keharmonisan hubungan rumah tangga. Lucunya, hanya satu kalimat dari tembang ini yang ia kuasai. Ia menjadi hapal kalimat itu dari nyanyian anak-anak tetangga di jalanan depan rumah. Ia kemudian menjadikan potongan tembang itu sebagai contoh dan pelajaran kepada pengantin baru bila membawakan nasehat perkawinan. Mungkin pemilik lagu akan ikut terpingkal-pingkal jika mendengarkannya menyanyikan potongan tembang itu.

Masih segar dalam ingatan, suaranya mendayu-dayu, menembus celah-celah pelepah pisang, memecah kesunyian siang;

"Kalau cuma makan, ada di rumah.. Kalau cuma minum, ada di rumah.. Kalau cuma makan, ada di rumah.. Kalau cuma minum, ada di rumah...."


27 April 2010

0 comments:

Post a Comment