Beranda

Friday, May 4, 2012

Sang Pembaca Setia; In Memeoriam KH. Muhammad Abubakar

Sang Pembaca Setia
(Catatan Umarulfaruq Abubakar, dalam buku: Ada Cinta di Mata Aba, In Memeoriam KH. Muhammad Abubakar)


Setahun yang lalu, satu hal yang paling membahagiakan dan mengharukan ketika saya menulis adalah: bahwa ternyata Aba saya ikut membaca tulisan-tulisan ini, jauh sebelum ia meninggal. Ada kawan yang menceritakan tentang tulisan-tulisan saya dan membawakannya ke rumah. Ah, sungguh bahagia dan terharunya diriku.

Untukmu kawan yang terbiasa dengan segala macam alat elektronik dan akses internet, setiap waktu, setiap saat, kapan suka dan dimana saja, mungkin ini tidak terlalu istimewa. Tapi bagiku, ini sungguh luar biasa. Sebuah anugerah dan kebahagiaan yang tiada tara.

Selama ini saya menulis hanya untuk menyuarakan apa yang saya rasa dan pikirkan dan untuk berbagi dengan anak-anak negeri dimanapun mereka berada, membiarkannya mengalir mengikuti arus hati dan pikiran. Tidak pernah terpikirkan akan di baca oleh kawan-kawan dan karib kerabat, apalagi Abaku yang jauh di pelosok Gorontalo sana, di Modelomo, di kaki gunung, dekat Pasar Sore, jauh dari gegap gempita kebisingan zaman dan masih belum terjaring oleh gurita internet yang mendunia, ikut pula membacanya.

Sebab kampung kami masih belum banyak tersentuh oleh perkembangan kehidupan yang semakin hari semakin canggih. Untuk anak-anak sebuah kampung kecil di pinggiran kota sepertiku, internet masih sebuah barang antik, langka, dan tidak biasa. Dan itu sempat aku rasakan beberapa waktu lamanya. Aku dengar kini sudah semakin maju, lebih baik dari dulu.

Apalagi ditambah dengan kondisi kesehatannya yang menurun dalam dua tahun terakhir ini, terbaring dalam sakit yang melemahkan tubuhnya, namun tak pernah bisa memadamkan pancaran cintanya kepada keluarga, orang-orang di sekitarnya dan semua manusia.

Lalu seketika saya ingin menulis, menulis dan terus menulis, agar Aba yang tercinta bisa membaca, merasakan bahwa anaknya kini masih segar bugar, masih bisa berkarya, masih menulis, masih bisa berbagi dengan kawan-kawan sebangsa dan setanah airnya, walau dalam jarak yang sangat jauh, berkilo-kilo, bermil-mil, terpisah oleh bentang benua dan samudera dengannya.

Hati ini ingin sekali membuat bakti, berdekatan lagi dengan Aba. Sebab sudah bertahun-tahun tangan ini tidak menjamah tangannya, bersimpuh di hadapannya, mencium tangan Umi dan Aba setiap pagi dan setiap selesai shalat lima waktu, namun belum bisa, sebab harus menyelesaikan kuliah sampai beberapa waktu ke depan.

Lalu kerinduan itu begitu mencuat, membelah nurani. Mataku pun seakan merasakannya. Lihatlah, kini di pelupuk ini ada mendung yang menggantung dan tertahan: rindu ingin berjumpa dengan pahlawan nomor satu yang pernah hadir dalam kehidupanku.

Dan Umiku, semoga pun bisa membaca, dan terus setia mendampingi Aba yang selalu dalam pembaringannya. Dua pahlawan ini selalu menjadi poros cinta dan rindu selama bertahun-tahun lamanya.

Hadirnya pembaca istimewa seperti inilah yang menjadikan sebuah tulisan menjadi berharga. Barangkali saya pernah bilang kepadamu, kawan, bahwa seorang yang menulis suaranya akan jauh, jauh ke tepian, dari ujung ke ujung, tak akan hilang disapu oleh desiran angin. Ia pun takkan padam ditelan waktu, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari. Suara itu akan melalui banyak orang dan tempat. Alangkah indahnya bila ia bisa sempat singgah di sanubari, memberikan pengaruh di hati dan membawa ke arah yang lebih terpuji.

Desember 2009

0 comments:

Post a Comment