Biapong dan Pilitode
(Catatan Luqmanul Hakim Abubakar, dalam buku: Ada Cinta di Mata Aba, In Memeoriam KH. Muhammad Abubakar)
Yang pertama kue putih dengan bahan utama tepung, berisi olahan kelapa dan gula aren. Orang Gorontalo menyebutnya Biapong. Bentuk atasnya bulat setengah lingkaran bola tenis, bawahnya rata. Mirip Bakpau. Tidak sulit menemukannya di Gorontalo. Sebab kue ini sangat akrab di lidah masyarakat. Selalu ada di toko-toko kue atau pasar rakyat. Rasa kulit luarnya tawar. Tapi kelapa bercampur gula aren di dalamnya membuat cita rasanya istimewa. Tawar tapi Manis.
Yang kedua kuah santan Kelapa, warnanya kuning pucat tak rata. Sejenis Opor. Pilitode, begitu orang Gorontalo mengenalnya. Di dalamnya ada potongan-potongan kecil ikan rebus, atau ikan bakar. Kadang campurannya terong, timun, kentang atau sayuran lain. Memang ada beragam variasi campuran. Namun sebenarnya, menurut para Budayawan Gorontalo, standar jenis ikan pada makanan khas ini adalah Ikan Gabus seperti yang banyak di temukan di Danau Limboto, diasapi atau dibakar. Orang Gorontalo menyebutnya "tola dilengengo". Artinya kurang lebih Ikan Gabus bakar. Rasanya lezat. Cara mengolahnya mudah. Hampir semua keluarga di Gorontalo menjadikan Pilitode sebagai santapan harian.
Dua jenis makanan ini adalah kesukaan Aba. Dan kami anak-anaknya, mau tak mau ikut memfavoritkan makanan ini. Umi pasti tahu betul bagaimana Pilitode kesukaan Aba. Kombinasi santan dan bumbu-bumbunya harus seimbang, untuk menghasilkan kuah nikmat, yang membanjiri sepiring nasi, dan diseruput hingga tetes terakhir. Di Kairo kami juga sering membuat Pilitode. Tapi tentu tidak selezat buatan Umi. Karena Umi begitu teliti dan hati-hati. Karena Umi menyuguhkannya dengan cinta tak bertepi. Juga karena di sini, kelapa jarang dan mahal. Santannya kami ganti susu tawar. Tak ada rotan akarpun jadi.
Konon, Pilitode adalah makanan kesukaan Aba sejak kecil di Paguat. Pasangannya adalah ubi rebus atau beras jagung. Nasi putih hanya dikonsumsi orang berada. Atau mungkin sesekali bisa mencicipinya jika ada hajatan tetangga atau pesta-pesta. Sama seperti Pilitode, Biapong juga favorit. Yang repot adalah ketika biapong-biapong Aba sering kehilangan isinya. Kelapa bercampur gula aren itu bisa hilang padahal kondisi luar Biapongnya masih seperti sedia kala. Pelakunya pasti mudah ditebak, anak kedua pecandu gula aren. Orang yang sama juga suka menguras habis isi Kue Dadara.
Sebetulnya ia bukan tipe orang yang suka memilih-milih makanan. Kehidupan sebagai anak yatim yang miskin ketika kecil, membuatnya mampu melahap semua jenis makanan. Ia terbiasa lapar atau makan seadanya. Ia paham bagaimana bekerja-keras untuk sesuap makanan halal. Ia tahu bagaimana menyikapi setiap kekurangan. Ia selalu bersyukur dengan apa yang ada. Ia adalah teladan hidup sederhana. Selalu hanya ada ungkapan syukur. Tidak pernah mengeluhkan keadaan, apalagi menyesalinya. Tapi, bila ditanya, Biapong dan Pilitode tetaplah favorit.
Setelah Ami Ale; satu-satunya saudara kandung Aba terbaring lemah tak berdaya karena penyakit Gula (Diabetes), dua jenis makanan ini mulai jarang terlihat. Sebab Ia pun memiliki sakit yang sama. Apalagi ketika tensi Gulanya semakin tinggi, Biapong hilang, Pilitode tak pernah lagi disuguhkan di hadapannya. Tamatlah riwayat dua jenis makanan itu dari meja makan kecilnya. Berganti menu paten, nasi dengan lauk ikan bakar, dabu-dabu dan manisan Pisang Pagata.
Empat tahun terakhir ia kurus, lemah, hanya tinggal kulit membungkus tulang. Sulit membayangkan bagaimana seorang yang dulu bertubuh kekar dengan porsi makan banyak itu menjadi lemah dan kurus dalam waktu sangat cepat. Sakit itu telah membunuh selera makannya, menghapus jejak banyak jenis makanan dari daftar menu dalam memorinya. Biapong dan Pilitode pun tinggal kenangan.
Semoga Biapong dan Pilitode yang tak menemaninya hingga akhir itu, digantikan Allah dengan Biapong dan Pilitode surga. Amin.
Kairo, 20 April 2010
0 comments:
Post a Comment